Banyak jurnalis perempuan menghadapi stigma negatif, seperti anggapan bahwa produktivitas mereka menurun setelah menikah.
Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi di berbagai ranah, seperti politik, moral, dan kepemilikan properti. Sistem ini melembagakan hak istimewa laki-laki dan menempatkan perempuan pada posisi yang inferior atau lebih rendah, meskipun terkadang dampaknya juga membebani laki-laki dengan tuntutan sosial tertentu.
Di dunia pers, jumlah pemimpin redaksi perempuan masih jauh dari seimbang, baik di tingkat nasional maupun di Kalimantan Selatan.
Penting bagi perempuan untuk terus mengasah kemampuan diri dan saling mendukung untuk mematahkan stigma negatif.
Baca juga 120 Guru di Kalsel Ikuti Tes Substansi Bakal Calon Kepala Sekolah
Hal itu, disampaikan Dr Hj Ratna Sari Dewi yang menjadi pembicara workshop kepemimpinan bertajuk “She is Red, She Thinks, She Acts, She Leads” yang diadakan PD Taruna Merah Putih (TMP) Kalimantan Selatan menggelar di Hotel Treepark Banjarmasin, Jumat (7/11/2025).
Dewi, begitu ia disapa, mengatakan bahwa budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat menjadi salah satu penghambat utama perempuan untuk tampil sebagai pemimpin, termasuk di dunia media.
"Pekerjaan di sektor ini dikenal padat, menuntut waktu tanpa batas, dan penuh tekanan, sehingga perempuan seringkali dihadapkan pada dilema antara tanggung jawab keluarga dan karier," Ketua Tim Perencana dan Pengendali Berita TVRI Kalimantan Selatan ini.
Menurut Dewi, hasil penelitian Perhimpunan Pengembang an Media Nusantara (PPMN) pada 2021 terhadap lebih dari 200 jurnalis perempuan menunjukkan bahwa selain terhambat badaya patriarki, mereka juga menghadapi stigma negatif.
Adanya anggapan pun bahwa ketika jumalis perempuan menikah, produktivitas menurun dan sulit mengatur waktu. "Kondisi ini membuat pemilik media lebih cenderung memilih pria untuk kemampuan, perempuan dan pria itu sama, bahkan karena kemam pum multitaskanganya, pemimpin perempuan besa bekerja lebih," kata Dewi yang juga pengurus PWI Kalsel.
Wartawati senior ini menambahkan, hasil penelitiannya tentang representasi anggota dewan perempuan di media massa kemunculan narasumber perempuan, khususnya anggota DPRD masih minim.
"Bukan karena media tidak memberi ruang, melainkan karena para anggota dewan perempuan sendiri sering memilih untuk menghindari media," tandasnya.
Baca juga Harga Emas Batangan Hari Ini Semua Produk Kompak Stabil
"Tapi penelitian ini dilakukan tahun 2010, semoga kondisinya sadah berbeda sekarang," imbuh Dewi.
Dewi mendorong perempuan untuk saling dukung dan mendorong secara nyata bukan sekadar jargon.
Dewi menilai, jumlah pemimpin perempuan di media masih jauh, misalnya di ingkat nasional bisa dihitung dengan jari seperti Najwa Shihab, Rosiana Silalahi, dan Lini Lubis menjadi contoh pemimpin redaksi perempuan yang menonjol.
Sedangkan di Kalimantan Selatan, sebut dia, dari lebih 200 media cetak, elektronik, dan onlime, serta hampir 700 jurnalis yang telah mengikuti Uji Kompetensi War-tawan (UKW), hanya segelintir perempuan yang menempati posisi penting
Beberapa di antaranya seperti Hj. Sunarti dari Kalimantan Post, Elsa Pratiwi dari Kakel Maju, Erna Djedi, Noor Dahcliani, Umi Sriwahyuni, dan Ratna Sari Dewi sendiri dan TVRI Kalimantan Selatan. (ewa)

